Secara umum, aura sufisme memiliki pesona yang sanggup mengubah peta kawasan dunia Timur pada masa-masa awal Islam, namun ini tidak dipahami dalam pengertian yang negatif semata-mata sebagai sebuah pertarungan politik, ini merupakan sisi lain dari perjumpaan lintas tradisi, atau perjumpaan antar kearifan.
Kepulauan nusantara yang juga ditaburi aura sufisme, sebagaimana telah disinggung sebelumnya dalam tulisan Reid, perjumpaan dengan Islam dalam hal ini tidak selalu dilihat sebagai sebuah upaya pendekatan yang bersifat politis, misalnya sebuah negara taklukan mesti tunduk dengan suka rela atau terpaksa menerima agama baru dari penakluknya. Dalam konteks nusantara pendekatan yang bersifat politis pada satu sisi mungkin hanya merupakan efek sekunder. Alasan ini bisa dimafhumi karena pengaruh kuat sufisme tidak menyentuh fisik, tetapi justru menyentuh permukaan batin masyarakat lokal hingga ke dasarnya.
Begitu juga dalam konteks Bakumpai, keislaman mereka bukanlah karena mereka orang-orang taklukan kerajaan Islam Banjar, mereka adalah orang-orang merdeka yang menganggap dirinya lebih dahulu memeluk Islam dari tetangganya orang Banjar.9
Dari penuturan, tampaknya pengaruh kuat sufisme dalam perjumpaannya dengan orang-orang Bakumpai sangat intens sekali. Jejak-jejak ini masih tersisa dengan adanya beberapa individu dan kelompok-kelompok kecil yang tetap mempertahankan bentuk penghayatan agama melalui jalan mistis dengan tetap mempertahankan syari’at. 10
Kecenderungan orang-orang Bakumpai pada masa awal dalam menghayati sufisme, sebagaimana berdasarkan tuturan lisan adalah karena semata-mata menganggap kehidupan Islam sufistik sebagai jalan yang ideal untuk mencapai kesempurnaan. Orang-orang Bakumpai sering menyebut ajaran-ajaran sufistik dengan istilah Ilmu Kasampurnaan, ilmu ini merupakan sarana menuju perjumpaan atau penyatuan dengan Yang Maha Agung, atau dalam istilah Bakumpai hasupa den ji-halus mate (berjumpa dengan Yang Maha Memiliki Penglihatan tajam/halus, secara hafiah berarti Yang Halus Mata).11
Kemudian pada perkembangan berikutnya, Ilmu Kasampurnaan tidak lagi sepenuhnya menjadi sarana untuk mencapai perjumpaan atau penyatuan dengan Tuhan saja, tetapi mengalami perluasan fungsi, yang dimaksud dengan fungsi di sini adalah kegunaan yang berhubungan persoalan-persoalan keduniaan, misalnya untuk memperoleh kesaktian. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa macam pengertian tentang kesaktian yang ingin dicapai, yang meliputi: Ilmu Kataguhan (ilmu kebal senjata), Ilmu Gancang (ilmu kekuatan super), Ilmu Mam-palemo Sanaman (ilmu melemahkan Besi), Ilmu Banihau (ilmu menghilangkan diri), dan masih ada beberapa istilah tentang ilmu-ilmu kesaktian yang juga berafiliasi pada ritual-ritual yang bernuansa sufistik, atau dalam istilah lokal dengan praktek balampah. Di antara sekian macam ilmu kesaktian tersebut, ada ilmu yang menjadi puncak segala kesaktian, yang disebut dengan Ilmu Jida Balawan (ilmu tanpa perlawanan, di mana musuh segan tak berdaya). Konon ceritanya ketika orang mampu menguasai ilmu ini dengan sempurna, maka ketika ia menghadapi musuh, ia tidak perlu mengeluarkan energi untuk bertarung, tidak memerlukan kekebalan, karena musuh dengan sendirinya akan menjadi lemah tak berdaya. Selain itu kesaktian juga terkait dengan kemampuan menyembuhkan penyakit yang bersifat fisik dan ruhani (Ilmu Ketabiban).12
Namun perluasan fungsi di atas pada dasarnya hanya merupakan bentuk sekunder dari perkembangan sufisme lokal. Kembali ke persoalan sebelumnya, mengenai penghayatan yang lebih murni ke jalan menuju sebuah perjumpaan melalui Ilmu Kasampurnaan, maka pengalaman kasyfi (penyingkapan spiritual) lebih bermakna nilainya dari kesaktian, meskipun tidak harus menolak efek-efek magis yang bersifat sekunder, yang muncul sebagai hasil dari pengamalan dan penghayatan Ilmu Kasampurnaan tersebut.
Sisi lain yang lebih spesifik mengenai ketertarikan orang-orang Bakumpai terhadap sufisme adalah karena daya tarik karamah, secara harfiah karamah berarti kemuliaan, dalam pandangan umum dipahami sebagai bagian integral dari kualitas spiritual yang dimiliki oleh para orang suci (Wali), karamah biasanya terkait dengan peristiwa-peristiwa magis atau berhubungan dengan keajaiban-keajaiban yang tidak lazim dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Karamah bukanlah sesuatu yang karena diusahakan, sebagaimana melalui praktek-praktek ritual untuk memperoleh kesaktian. Jika dalam hal ini riyadhah dan mujahadah ditujukan untuk memperoleh kesaktian, maka dalam konteks Ilmu Kasampurnaan yang lebih murni, riyadhah dan mujahadah ditujukan untuk mencapai kedekatan kepada Tuhan (al-Qurb). Karamah bukan tujuan, ia merupakan anugerah Tuhan yang tidak bisa ditolak, dan tidak juga dikehendaki oleh orang yang berkhidmat menuju perjumpaan dengan Yang Maha Agung. Contoh dari karamah itu misalnya seperti kemampuan seorang Wali yang dapat shalat mengawang-awang di udara, kemampuan berjalan di atas air, berwudhu dengan menceburkan diri ke dalam air, tetapi yang basah hanya anggota wudhunya saja. Namun kadang-kadang ada hal yang unik, di mana seseorang memperoleh karamah tanpa melalui riyadhah (olah spiritual) dan mujahadah (berjuang secara konsisten), fenomena ini dalam tradisi sufi disebut dengan jadzbah (tarikan langsung dari Tuhan), atau juga melalui inisiasi, yang berupa pemberkatan melalui kehadiran para Wali Allah atau dengan kehadiran salah seorang Nabi secara ruhaniyah.
Kecenderungan sufi awal di Marabahan tampaknya yang lebih menonjol adalah ciri jadzbah-nya, kondisi jadzbah berlangsung hingga masuknya sufisme yang terlembaga seperti thariqat, paling tidak dari abad ke-17 hingga awal abad ke-18. dalam tradisi jadzbah, ada salah seorang sufi yang hidup se zaman dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Ia adalah Datu’ Sulaiman. Tokoh ini memang sangat unik.13 Pada mulanya ia bukanlah seorang yang taat beragama, menurut penuturan lisan, ia tidak pernah shalat hingga usia 40 tahun, namun pada usia ini pula ia memperoleh pencerahan spiritual, setelah mengalami titik balik, di mana ia berpaling dari urusan-urusan yang murni duniawi kepada hal-hal yang lebih religius. Pada saat itu pula ia mulai berfikir mendalami agama secara lebih serius, sehingga ia berniat untuk mempelajarinya. Untuk mewujudkan niatnya, ia mengajak dua orang kawannya ke Martapura untuk belajar agama secara lebih intensif kepada Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, namun di tengah perjalanan ia berjumpa dengan Khidr melalui pertemuan yang sangat unik, lalu ia diberi pemberkatan dan tidak jadi pergi ke Martapura. Setelah pertemuan itu ia mengalami perubahan yang sangat luar biasa, ia dianugerahi kecerdasan intuitif, sehingga ia mampu menyerap pengetahuan tanpa belajar, misalnya ia memilki kemampuan berbahasa Arab tanpa pernah belajar, termasuk mengetahui isi kitab, tanpa mengenal sebelumnya kitab tersebut. Ia juga pernah menulis tafsir esoteris tentang surah Yâsîn.14
Setelah peristiwa perjumpaan dengan Khidr, menurut penuturan lisan Datu’ Sulaiman pernah berkirim surat kepada Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam rangka mencocokkan pengetahuan spiritual yang telah diperolehnya, apakah bersesuaian dengan isi pengetahuan spiritual yang dimiliki Syeikh Arsyad. Dalam surat itu ia menulis hanya dengan satu huruf alif (ﺃ), dan Syeikh Arsyad pun menjawab suratnya, dengan menyatakan kecocokannya.15
Pada fase berikutnya, yaitu abad ke-18, perkembangan sufisme di Marabahan mengarah pada aliran thariqat yang terlembaga, titik awal perubahan ini ditandai dengan kehadiran salah seorang anak dari Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, yaitu Mufti Jamaluddin yang kawin dengan penduduk lokal, yang bernama Samayah binti Sumandi. Kemudian dari pasangan ini lahir seorang putera yang bernama Abdusshamad, yang kelak di kemudian hari menjadi Wali besar di tanah Dayak, atau lebih dikenal dengan Datu’ Abdusshamad Bakumpai yang dikenal memiliki keunikan spiritual beserta karamah-karamahnya.16
Pada masa Datu’ Abdusshamad inilah puncak perkembangan sufisme di Marabahan, di mana ia mengembangkan thariqat Naqsyabandiyah dengan suluk-nya, dan juga thariqat Syadziliyah. Ia memilki banyak murid dari berbagai pelosok di Kalimantan Selatan dan Tengah, namun yang terlacak hanya murid-murid suluk-nya di Marabahan saja, sebagaimana yang diperoleh dari informasi lisan, di antaranya adalah: H.Muhammad Arsyad, H. Zawawi, Maswedah dan Wajinah.17
Pengembangan thariqat pada fase berikutnya diteruskan oleh keturunannya, Syeikh H. Abu Thalhah, Qadhi H. Muhammad Djafri, Syeikh H. Muhammad Bidjuri dan Syeikh H. Muhammad Basiyuni.18
Fase berikutnya menunjukkan bahwa perkembangan thariqat mengalami stagnasi, ajaran-ajaran sufistik mulai terpisah dari ingatan generasi sekarang, meskipun ada perkembangan yang menggembirakan dengan mulai dikembangkannya kembali thariqat.
Namun pada sisi yang lain, bagaimanapun tetap saja ada sesuatu yang mengkhawatirkan, karena secara lisan, sejarah sudah mulai redup, jejaknya hampir musnah. Para tetuha satu demi satu mulai menghilang, sejarahpun secara perlahan turut menghilang ditelan bumi, karena sejarah bagi orang Bakumpai berada di ujung lidah mereka, sejarah bagi mereka tidak ditulis di atas kertas, tetapi disurat dalam ingatan. Inilah ambang batas yang memperihatinkan, ketika ingatan-ingatan tentang sejarah mereka “lupa” diwariskan ke generasi berikutnya.
9 Dari informasi lisan, juga sebagaimana terdapat dalam Helius Sjamsuddin.
10 Bagi mereka, pengetahuan esoteris (kebatinan) tidak semata-mata diperbincangkan, tetapi dihayati secara mendalam dalam rangka menuju peniadaan diri, orang-orang yang hidup di zaman ini menganggap pengetahuan tersebut antik dan langka, mereka biasanya menyebutnya ilmu Uluh Batuh (ilmu orang terdahulu).
11 Informasi dari MZ. Dalam bahasa yang umumnya di kenal di dunia Islam disebut dengan al-Lathîf, yang merupakan salah satu nama Tuhan dari 99 nama.
12 Informasi diperoleh dari HMS.
13 Informasi dari HS.
14 Informasi dari MZ.
15 Informasi dari MZ.
16 Lihat Ahmad Syadzali, “Gerakan Tashawwuf Lokal al-‘Alimul ‘Allamah Syeikh Datu’ ‘Abdusshmad Bakumpai di Tanah Dayak” dalam Jurnal Kandil, edisi 4 tahun II, Februari 2004, yang juga merujuk kepada Manaqib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar