Peralihan keyakinan keagamaan secara umum ataupun yang lebih terbatas pada region-region tertentu, tampaknya memiliki beberapa alasan, dan tidak hanya sebagaimana yang tertangkap dipermukaan, yang selalu bisa diukur secara empirik, misalnya lewat interaksi sosial antara kelompok pendatang dengan penduduk asli. Dalam konteks historis, interaksi sosial yang terjadi di masa lalu memungkinkan segala macam perjumpaan pada ranah agama dan budaya, yang berdampak pada adanya perubahan besar dalam kehidupan sekelompok masyarakat atau etnik. Perubahan besar tersebut misalnya seperti konversi agama suatu etnik, hal ini tentulah merupakan bagian dari peristiwa historis, dan alasan perjumpaan dalam ranah interaksi sosial merupakan alasan yang sangat logis untuk diterima ketimbang menerima sejumlah informasi yang sarat dengan nuansa magis. Tetapi di sinilah kadang-kadang perbedaan yang sangat kentara terlihat, masyarakat atau sekelompok etnik tertentu memiliki pemahaman sejarahnya sendiri, di mana unsur-unsur magis dan sakral merupakan sesuatu yang tak terpisahkan ketika mereka meramu sejarahnya. Sedangkan para sejarawan positivistik cenderung mereduksi sejumlah fakta, sejauh itu dianggap logis, yang sudah barang tentu membuang jauh-jauh kandungan unsur-unsur magis dan yang sakral dari sejarah, namun yang jelas antara keduanya berbeda secara epistemologis. Satu sisi, ini juga merupakan bentuk dominasi dari sejarah tulisan terhadap sejarah lisan, karena sejarah yang positivistik lebih mengutamakan kekuatan data tulisan ketimbang lisan. Data lisan sering dicurigai tidak memiliki kemurnian, serta akurasinya lemah.
Jika diukur dari sudut pandang positivistik, penulisan sejarah mengenai sejumlah etnik Dayak tentulah mengalami banyak kesukaran, dalam kasus Bakumpai misalnya, pencarian tentang data sejarah berupa catatan-catatan orang lokal terasa sangat sulit dijumpai selain dari informasi-informasi lisan, namun sekarang sumber informasi lisan itupun sudah mulai langka.
Ketika berbicara tentang perjumpaan antara Islam dan Bakumpai dari sudut pandang informasi lisan, sudah pasti tidak bisa dipisahkan dari unsur-unsur magis dan sakral, keajaiban spiritual merupakan daya tarik yang luar biasa bagi orang-orang Bakumpai.
Terkait dengan fenomena di atas, secara umum Reid tampaknya menyadari hal ini sebagaimana dalam kutipan sebagai berikut:7
Hampir seluruh kronik Asia Tenggara menggambarkan peristiwa-peristiwa gaib yang menyertai peralihan sebuah negara menjadi Islam, namun perbedaan di antara jenis campur tangan Ilahiah itu tentu perlu pula diperhatikan. Kronik-kronik Melayu seperti kronik Pasai, Melaka dan Patani tidak berbeda secara mencolok dengan cerita yang berasal dari bagian dunia lain. Titik berat kronik tersebut adalah pewahyuan lewat mimpi, seperti kronik tentang penguasa Pasai dan kemudian Melaka, atau kemudian mu’jizat wali Allah, seperti Shaikh Sa’id dari Pasai yang menyembuhkan penguasa Patani (Brown 1953 : 41-42, 52-54; “Hikayat Raja-Raja Pasai”, 116-120; Hikayat Patani,I: 71-75; lihat pembahasan teks-teks ini dalam Drewes 1968: 436-438). Kronik-kronik ini tidak ragu menggambarkan kekuasaan para penguasa dan asal-usul negara dengan menggunakan konsep kekuatan magis (kesaktian) yang berasal dari masa pra-Islam, namun tampak jelas deskripsi proses Islamisasi dijaga agar tetap berada di dalam batas-batas yang dapat diterima oleh kalangan Muslim disebagian besar dunia. Dalam tradisi Islam jawa dan Tradisi Banjar yang menjadi turunannya, kita menemukan unsur-unsur kepercayaan pra-Islam secara lebih terang-terangan. Motif perpindahan agama paling jelas ditunjukkan dalam Hikayat Bandjar adalah bahwa pemimipin jipang dari jawa timur ”sangat terkesima ketika melihat pancaran (cahaya) Raja Bungsu (yaitu: Raden Rahmat).” Dia berlutut di depan Raja Bungsu dan memohon untuk diislamkan (Hikayat Bandjar, 420).
Dari kutipan di atas, fenomena persentuhan Islam dengan dengan kepercayaan lokal diberbagai wilayah di Asia Tenggara, atau lebih sempit lagi Nusantara merupakan persentuhan yang dilandasi oleh perjumpaan pada kesamaan kecenderungan, yaitu adanya minat yang sama dalam merespon nilai-nilai spritualitas, daya tarik ritualnya, serta muatan dari pengalaman spiritual yang diperoleh. Secara kongkrit dan sederhana perjumpaan ini bisa dilihat ketika Islam masuk ke Nusanatara, yang tampak adalah dominannya unsur-unsur mistis yang menyertainya, yang sudah barang tentu lebih banyak menekankan pada hal-hal gaib. Begitu juga dengan tradisi-tradisi lokal di Nusantara, isi pengalaman keagamaan yang berhubungan dengan dunia gaib bukanlah sesuatu yang baru, tetapi merupakan roh dari tradisi itu sendiri. Dengan ungkapan lain perjumpaan Islam dengan kelompok-kelompok etnik di Nusantara didasarkan pada kedalaman penghayatan aspek religius-magis.
Persoalan di atas, jika ditarik pada ranah yang lebih spesifik, yaitu dalam konteks perjumpaan Islam dengan etnik Dayak Bakumpai, maka terlihat perubahan yang sangat signifikan, di mana konversi berlangsung secara massif. Lagi-lagi daya tarik aspek religius-magis memiliki tarikan yang sangat kuat. Jika diamati dari ekspresi keagamaan orang-orang Bakumpai, maka dapat disimpulkan, bahwa ketika mereka bersentuhan dengan Islam, yang pertama-tama mereka kenal adalah unsur-unsur mistisnya, sedangkan unsur-unsur doktrin formalnya agak sedikit belakangan. Meskipun demikian sangat berbeda kasusnya jika dibanding dengan Islam jawa yang lebih kental nuansa sinkretisnya, sedangkan Islam Bakumpai tetap menekankan keseimbangan antara ranah eksoteris dan esotreis, atau dalam istilah yang populer dikalangan orang-orang Bakumpai keselarasan antara Syari’at, Thariqat, Haqiqat dan Ma’rifat.8
Pernyataan di atas tidak berpretensi untuk menyimpulkan secara tergesa-gesa mengenai bentuk perjumpaan Islam dengan etnik Dayak Bakumpai. Anggapan di atas tentunya tidak hanya didasarkan pada ekspresi yang tampak dipermukaan saja, tetapi juga merujuk pada pengalaman-pengalaman yang multi-varian, dan diperkaya oleh informasi-informasi lisan lintas generasi, serta tingkah laku yang berhubungan dengan tindakan praktis religius. Tindakan praktis religius tidak hanya tercermin dalam kegiatan-kegiatan ritual, tetapi bagaimana mereka menyelaraskan serta meresapkannya dengan pengetahuan esoteris yang mereka milki.
Sehubungan dengan persoalan di atas, informasi-informasi lisan serta pengalaman-pengalaman masa lalu yang telah diperoleh secara berantai, yang telah melintas bentangan zaman dari beberapa generasi, meskipun agak terbatas, namun sangat membantu dalam melihat bagaimana orang-orang Bakumpai mendefinisikan dirinya setelah mengalami perjumpaan dengan Islam pada masa-masa awal hingga enam generasi belakangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar