WELLCOME FRIEND !!!

Selamat Datang ! Suatu kehormatan bagi Saya atas kunjungan ini. Saya sangat berharap kunjungan berikutnya. Silakan lihat-lihat isi blog's ini, Kalau ada komentar, saran atau pun masukan silakan posting. Tapi ma'af saya tidak menerima kata-kata yang mengandung SARA, Pornoaksi, Provokasi dan kata-kata yang tidak sopan lainnya. Terima Kasih!!!

Sabtu, 06 November 2010

Asal-usul Etnik Bakumpai


            Melacak asal-usul etnik ini memang terasa banyak kendala, kesulitannya adalah karena harus melacak kembali sambungan-sambungan benang sejarah yang telah lama putus, yang kemudian diupayakan untuk menjadi sebuah rangkaian yang mendekati utuh.
            Alasan dari kesulitan di atas memang sudah bisa dimafhumi, yaitu terbatasnya sumber data yang berkenaan dengan etnik Bakumpai itu sendiri, namun paling tidak, meskipun sangat terbatas, informasi lisan ataupun tertulis yang berasal dari masa lalu tetaplah penting sebagai titik tolak bagi langkah awal menuju penggalian sumber yang lebih mendalam dan akurat.
            Untuk menjelaskan tentang asal-usul etnik Bakumpai dari sudut pandang historis, paling tidak secara tentatif bisa bersandar pada kutipan Maulani yang merujuk pada Bock:1

Asal-usul suku Bakumpai yang dikelompokkan sebagai salah satu sub etnik dari ras Kahayan, diduga berasal dari suatu desa yang juga menyandang nama Bakumpai di hulu sungai Barito. Mereka menyebar ke Selatan mendiami sepanjang sungai Barito, berbelok ke sungai Kahayan dan sungai Mentaya Sampit sampai ke Tumbang Samba (Kasongan), Kalimantan Tengah. Dalam persebaran itu etnik Bakumpai bertemu dengan suku Melayu dan mulai memeluk agama Islam pada awal tahun 1688 melalui penyebar agama Islam dari Demak. Dari hulu sungai Barito orang-orang Bakumpai menyebar ke hulu sungai Mahakam di Long Putih mengalir sampai ke Long Iram.

            Pada sisi yang lain, berbicara tentang Bakumpai tidak hanya semata-mata representasi etnik, tetapi juga merupakan representasi yang berhubungan dengan geografis, jika Bakumpai dipahami sebagai etnik maka ia tidak dibatasi oleh sekat-sekat geografis, namun jika Bakumpai dipahami sebagai sebuah wilayah, maka lingkupnya sudah pasti terbatas.
            Adapun Bakumpai dalam konteks geografis yang dibahas di sini adalah yang berpusat di Marabahan. Mengenai asal-usul keberadaan Bakumpai sebagai sebuah wilayah, dalam hal ini didasarkan pada salah satu informasi yang menjelaskan sebagai berikut:2

Pada abad ke-15 Banua Bakumpai belum ada. Baru pada awal abad ke-16 (1525) bermula dengan datangnya sebuah jukung (perahu) dari arah Barat sungai Barito yang didayung satu keluarga terdiri dari lima orang, dua laki-laki dan tiga perempuan. Ciri orang tersebut kulit dan rambut berwarna kemerah-merahan (pirang. Pen.), sehingga disebut Datu’ Habang Rambut (Datu’ Bahandang Balau. Pen.). Diduga mereka berkebangsaan Spanyol.......

Sebelum ada lebu (Banua) Bakumpai. Sungai Barito sudah ada, bermuara ke laut jawa, mengudik ke hulu atau ke Utara dan berujung di Banua Lima. Jika kita melihat peta kabupaten Barito Kuala yang membujur dari Selatan ke Utara (kecamatan Kuripan) melaui jalur air dari Marabahan ke Kuripan kita melalui beberapa desa, yaitu: desa Banitan, Palingkau, Balukung, Jambu, Hampelas, Kabuau,  Jarenang, Palangkau dan desa Kuripan.

Konon ceritanya jalur air yang melewati 4 desa (Banitan, Palingkau, Balukung dan Jambu) pada mulanya hanya merupakan tanah rawa, selokan alami dan hanya diketahui sebagai jalan babi, rusa dan marga satwa lainnya. Selokan tersebut lama-lama saling terhubung menjadi parit (sungai kecil). Dengan derasnya arus air ke arah hulu, lama-lama parit semakin lebar sehingga dapat dilalui jukung, akhirnya tembus sampai ke desa Ulu Benteng sekarang. Selanjutnya diceritakan bahwa jukung yang didayung lima orang tersebut terus menghilir melalui parit, dan mereka pun ke desa Ulu Benteng.

Ulu Benteng pada mulanya masih merupakan hutan belukar. Nah di desa itulah mereka bermalam. Karena keadaan tanah cukup tinggi, mereka sepakat untuk menetap, akhirnya mendirikan hubung (gubuk). Akhirnya hanya dalam kurun waktu puluhan tahun mulailah orang-orang berdatangan dan tak heran tempat itu menjadi perkampungan yang dalam bahasa Bakumpai disebut Lebu (Banua).

Selama puluhan tahun mereka hidup bertetangga, aman ruhui rahayu. Tetapi apa yang terjadi, seiring dengan perjalanan waktu, pada suatu malam Banua tersebut terbakar dan menghabiskan semua rumah. Konon ceritanya sebelum terbakar, antara penduduk sudah saling bertengkar, berkelahi dan dihasut oleh pihak luar, sehingga akhirnya saling membakar. Setelah terbakar semua penduduk cerai berai, tak seorangpun yang tinggal. Mereka pindah. Ada yang ke hulu, ke hilir, tetap tidak jauh dari lokasi kebakaran.

Arus perpindahan ini dapat digambarkan sebagai berikut: perpindahan ke arah seberang disebut kampung lepasan, ke arah hulu disebut kampung Ulu Benteng, ke arah hilir meliputi beberapa kampung; yaitu kampung Pasar, kampung Bentok (Tengah), kampung Basahab, kampung Timbuk Ngambu, kampung Ngawa Masjid, kampung Sungai Madang, Kampung Jembatan Tiga, kampung Baliuk Ngaju, kampung Senali (Baliuk Ngawa), Kampung Bagus, kampung Sungai Lukut dan kampung Rumpiang.

.........Konon ceritanya bahwa di antara yang pindah ke hilir ada sebuah jukung (perahu) membawa seekor ayam jantan kambudiwasi (pada bagian ekor ada selembar bulu warna putih). Menurut kepercayaan mereka ayam tersebut bisa memberi isyarat tanda baik atau buruk. Tidak seberapa jauh dari tempat semula (+2 Km) ayam tersebut berkokok tiga kali. Mereka yakin kokok ayam tersebut adalah pertanda baik untuk singgah dan akan memulai hidup baru di tempat itu.

Alhasil mereka segera membersihkan hutan/semak sehingga dalam waktu tidak lama sudah berdiri rumah. Dalam kurun waktu selanjutnya penduduk bertambah banyak sehingga menjadi sebuah kampung.

Orang pertama yang mendirikan rumah, bernama Datu’ Jalul, dan rumahnya disebut rumah Dukup. Kampung tersebut adalah cikal bakal adanya kampung Bentok (Tengah) sekarang.


            Mengenai pendiri kampung Bentok (Tengah) ada sedikit informasi, sebagaimana terdapat dalam catatan silsilah Datu’ Jalul. Berdasarkan catatan tersebut, sang pendiri Datu’ Jalul bin Malik diperkirakan lahir sekitar antara tahun 1755-1760. Ia memiliki dua orang istri yang bernama Nurmi dan Halimah. Dari kedua istrinya inilah nantinya yang menurunkan orang-orang Bakumpai di kampung Bentok (Tengah). Adapun mengenai pembangunan rumah Dukup menurut catatan didirikan sekitar tahun 1785. Menurut para tetuha di Marabahan rumah ini merupakan salah satu yang tertua.3
            Selain Datu’ Jalul bin Malik, pada generasi sesudahnya ada beberapa orang tokoh agama dan pejuang yang lahir dari kampung ini. Seperti Panglima (Demang) Kendet, Panglima Bantaur, Panglima Punduh, Panglima Odi, Syeikh Datu’ Abdusshamad, H. Abdul Majid, H. Abdul Aziz (Ki Demang Wangsa Negara), H. Martaib (Singa Braja), Panglima Wangkang, Samauddin (Ki Rangga Niti Negara), Syeikh H. Abu Thalhah dan Qadhi H.M. Djafri.4
            Pada perkembangan berikutnya, menurut Helius5 berdasarkan laporan Schwaner, sejak abad ke-19 Bakumpai telah berubah menjadi sebuah distrik utama yang meliputi beberapa daerah disepanjang alur Barito, seperti: Balawang, Marabahan, Kuripan, Paminggir, Mengkatib, Patai, Siong, Dayu, Paku dan Karau. Selain itu sebutan Bakumpai juga digunakan untuk menyebut Negeri utama Marabahan atau Muara-bahan. Adapun mengenai kegiatan penduduknya, mereka bermata pencaharian sebagai pedagang. Menurut Schwaner orang-orang Marabahan memiliki ratusan armada perahu dagang. Sedangkan jumlah penduduknya pada tahun 1845 berjumlah 5265 orang. Pada umumnya orang-orang Bakumpai menganggap dirinya merdeka, meskipun mereka berada di mana saja, dan mereka hanya taat pada negeri induknya di Bakumpai.
            Bakumpai jika dilihat dari segi nilai strategisnya pada saat itu memang banyak memberikan keuntungan bagi penduduknya.

“Bakumpai adalah kunci bagi perdagangan kira-kira 2300 mil persegi geografis Borneo (Kalimantan). Produksi Negara dan Barito, dan sejumlah besar komoditi dari sungai Kapuas, dan sungai Kahayan, menemukan jalan mereka ke dunia perdagangan melalui negeri ini (Marabahan)”.6



1 Z.A. Maulani, “Pedalaman Kalimantan: Kearifan Budaya dan Etnik” dalam Demokrasi dan Pembangunan Daerah, CRDS, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000 h.140-141.
2 Bran. S, Lebu Bakumpai, tth, tanpa halaman. Versi lain menyebutkan bahwa Datu’ Bahandang Balau bukan berasal dari Spanyol, tetapi menurut pendapat lain berkebangsaan Portugis.
3 Dalam Catatan Silsilah.
4 Dalam Lebu Bakumpai, dan beberapa informasi lainnya.
5 Helius Sjamsuddin, Pagustian dan Temenggung Akar sosial, Politik, Etnis dan Dinasti. Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906. Balai Pustaka, Jakarta, 2001. h. 45-46.
6 Ibid. h. 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar